“Assalamu’alaikum. Mau kemana dik?” tanyaku seraya menebarkan senyum pada wanita anggun di depanku ini.
“Wa’alaikumsalam.
Mmmm... Mau kesana. Mari...” katanya, tergesa. Kemudian dalam hitungan
detik tak terlihat bayangannya. Hatikupun segera saja merindukannya.
Merindukan wajahnya yang selalu teduh.
Jika ada kata yang
bisa kusampaikan padamu, Zahra, maka aku akan mengatakan, maafkan aku
yang telah mencintaimu. Waktu membuatku tak mampu membohongi perasaanku
selama ini. Selama itu pula aku bersama denganmu dan teman-teman disini,
berjuang bersama.
Aku hanya seorang pemuda yang tinggal
di sebuah perkampungan di Surabaya. Dekat dengan kawasan lokalisasi. Aku
dan keluargaku telah lama menjadi jama’ah di masjid Ar-Rahmah, yang
termasuk dekat dengan daerah lokalisasi juga. Sayangnya kurang makmur
masjid itu. Jama’ah yang sholat hanya segelintir. Tak pernah ada
kajian-kajian yang memakmurkan masjid itu.
Dengan tekad
bulat aku mengumpulkan remaja-remaja muslim di daerahku untuk bergerak
mengadakan kegiatan-kegiatan positif di Ar-Rahmah. Awalnya sulit memang.
Sedikit sekali yang mau datang. Tak jarang mereka datang dengan
menggandeng pasangannya masing-masing. Atau datang hanya sekedar untuk
jagongan mengisi waktu luang. Namun perlahan aku menyadarkan mereka,
bahwa menuntut ilmu agama sangatlah penting.
Tidak hanya kajian, juga acara-acara memperingati hari besar islam berhasil kami adakan.
Sejak
itulah, Fika, salah satu anggotanya, mengenalkanku pada Zahra, Zahra
berkenan membantu proyek dakwahku ini. Tanpa ba bi bu lagi tentu saja
kuterima dengan senang hati. Hatikupun bungah saat ia banyak menawarkan
konsep-konsep luar biasa dalam memakmurkan Ar-Rahmah.
Waktu
berjalan terasa lebih cepat, dan kini Ar-Rahmah dipenuhi dengan
kajian-kajian rutin. Tidak hanya dikalangan pemuda saja, banyak bapak
dan ibu-ibu yang juga ikut pengajian disini. Mempelajari bersama-bersama
Al-Qur’an dan al-hadits, bersama asatidz yang ahli di bidangnya.
Diantaranya
selalu ada Zahra. Dia tidak hanya gadis yang cantik, namun juga cerdas.
Penyayang anak-anak, dan pandai bergaul dan berorganisasi. Orang
tuanyapun dekat dengan orang tuaku. Sama-sama menjadi pengurus di panti
asuhan dekat kampungku ini. Entahlah karena apa, namun harus kuakuiku,
aku sangat kagum padanya, pada Zahra, Fatimah Az-Zahra nama lengkapnya.
Sungguh
aku bukanlah orang yang mudah mencintai, namun jika rasa itu telah
hadir, terlalu sulit kumelepasnya. Jika aku harus berada dalam satu
acara bersama Zahra, tak dapat kutahan degup jantungku yang tak
beraturan. Tinggi rendah, membuatku serba salah.
Aku tak
mampu menahan ini semua. Apalagi jarak-rumahku dan Zahra tidak jauh,
hanya berbeda beberapa gang saja. Kami sering sekali bertemu. Setiap
kali pertemuan itu datang, rasa-rasanya ingin kusampaikan padanya bahwa
aku mencintainya. Saat harus kusampaikan hal itu, suaraku tercekat di
tenggorokan. Tak mampu, karena itu terlalu sulit bagiku.
Sebenarnya
ada juga hal lain yang membuatku tak mau menyampaikan rasa ini padanya.
Aku tak mampu ukhuwahku dengannya terputus, hanya gara-gara keegoisan
diriku ini. Aku tak mampu meyakinkan bahwa ia juga mencintaiku. Dan yang
aku tahu bahkan sangat tahu, Zahra tidak mungkin mau berpacaran, tidak
seperti teman-temanku yang lain.
“Kenapa kamu tidak
mencintai yang lain saja kalo begitu?” jawab Ilham santai, temanku yang
juga menjadi anggota di Ar-Rahmah saat kucoba meminta pendapatnya. Ah..
Ilham, kamu terlalu polos, perasaan mana mungkin kita kendalikan. Ia
hadir dan menyapa tanpa ada yang mengudangnya.
Apakah aku
sanggup menyimpan rasa ini? Rasa yang menikam segenap hati dan jiwa.
Rasa yang dialami oleh setiap anak Nabi Adam. Rasa ini.. sungguh
benar-benar ingin kusampaikan padanya.
***
Malam
yang hening. Angin semilir masuk perlahan-perlahan melewati ventilasi
kamarku yang baru saja kubuka. Subuh belum juga datang.
“Rabbanaa
hablanaa min azwaajina wa dzurriyyatin qurrota a’yun.” Doa memohon
diberi keluraga yang sakinah ini membuatku meneteskan di hadapanku.
Aku
mengerti Ya Rabb... mengapa engkau melarang hamba-hambamu menjalin
cinta tanpa ada ikatan yang suci. Karena hanya nafsu saja yang akan
mempermaikan anak manusia, dan syetan pasti ikut andil mengambil peran.
Aku telah mengikhlaskan segalanya pada Allah. Termasuk jodohku kelak. Toh, ia sudah tertulis, tinggal aku yang mencarinya saja.
Umurku
tak lagi muda, dua puluh lima tahun. Mungkin inilah waktu yang
kutunggu-kutunggu. Ternyata Allah memberikanku kesempatan untuk
menyampaikan rasa hatiku pada Zahra, setelah hampir enam tahun
menyimpannya.
“Ana (saya dalam bahasa arab) mencintai anti
(kamu perempuan) sejak pertama kali kita berjuang bersama di Ar-Rahmah.
Kini ingin kusampaikan bahwa ana ingin berjuang bersama anti lagi.
Mencintai anti karena Allah dalam ikatan suci yang diridhoinya. Jika
berkenan tolong terima pinanganku ini.”
Ayah dan Ibu
terlihat lega dengan senyum yang tak mampu kutafsirkan. Begitu juga
orang tua Zahra, senyumnya mengembang dan sesekali memandangi wajah
anaknya yang indah itu.
“Bismillah dengan memohon rido Allah, insya Allah saya menerima pinangan Mas Firdaus.”
Subhanalloh
dan walhamdulillah. Kini kami bersanding dalam pelaminan yang berhias
bunga-bunga yang indah, seindah hati kami berdua. Merayakan cinta karena
Allah.
“Dik.. apakah kamu pernah mencintai sebelumnya?” tanyaku pada Zahra seraya menatap wajahnya yang indah.
“Ya mas..” katanya lembut.
“Aku
mencintaimu sejak pertama bertemu mas.” Katanya yang membuatku
benar-benar membuatku terbang menyelami kebesaran Allah tanpa batas.
Seakan inilah jawaban Allah atas kesabaranku untuk memutuskan tidak akan
pacaran.
***
Oleh : Nabila Cahya Haqi (islami.bela@gmail.com)
Keep your love until the time answer :)
Saat Aku Harus Mencintai
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Masyaallah :)
ReplyDelete