#Kisah Inspiratif
Secercah cahaya menelusup masuk melalui lubang-lubang
kecil di ruang sempit yang kutinggali. Hanya sesekali saja hembusan
angin mau menyapa kamarku ini. Malam memang benar-benar menyelimuti
bumi. Akupun yakin semua makhluk di bumi ini sedang terlelap. Kecuali
sebagian kecil, termasuk aku.
Aku benar-benar sadar, perbuatanku sendirilah yang telah
membuatku berada disini, di tempat dengan cahaya yang hanya
remang-remang. Berkawan dengan nyamuk, menggigil kedinginan jika hujan,
dan tak mampu bebas menghirup udara segar. Persis seperti di
pengasingan, meskipun berlebihan. Namun harus kuakui bahwa karena
kesalahanku sendiri, aku kini berada di jeruji besi. Ya, aku kini sedang
dibui.
Namun perlu kuberitahukan padamu, bagaimanapun juga keadaanku saat ini, sungguh aku bersyukur.
Aku sangat beruntung malam itu. Saat warga menghajarku
karena aku ketahuan mencuri sepedha motor di pinggir perempatan gang.
Dan hal yang membuatku kemudian bergetar adalah teriakan orang-orang
itu,
“Bakar! Bakar! Bakar!” Teriak mereka yang membuatku benar-benar pasrah. Dalam hati kecilku berkata,
“Aku akan dibakar hidup-hidup, dan akan segera mati. Aku
akan segera mati dengan menaggung segala dosa yang telah kuperbuat.
Kematian telah didepanku kini, dan jika aku bertaubat sekarang apakah
diterima olehNya? Tidak mungkin!” Pikirku.
“Ya Allah! Ya Tuhan! Tolonglah aku. Tolong selamatkan
aku. Aku berjanji akan bertaubat! Aku berjanji Ya Allah!” teriakku dalam
hati.
Harapanku melayang saat para warga menyiramku dengan
minyak tanah. Seluruh warga kampung berkumpul melihat proses eksekusi
ini. Meskipun hari telah larut malam, mereka tetap ingin melihatku.
Menatap dengan pandangan yang tak kumengerti. Antara geram, dan juga
kasihan, karena seorang manusia yang akan dibakar hidup-hidup.
Aku yakin Allah telah benar-benar marah padaku. Teringat
pula seluruh dosa-dosaku. Mulai dari main judi setiap hari, membantu
teman nyambar sepedha motor, hingga membuat menangis pacarku setiap hari dengan kata-kata kotorku.
Namun aku masih ingat, aku tak pernah mengotori setiap
wanita yang kucintai, setiap kali pacaran aku selalu menjaga kesucian
mereka. Termasuk ibuku, senakal apapun aku, tak pernah berani membentak
sedikitpun pada Ibu, bagaimanapun.
Harapanku mulai tumbuh lagi, karena secercah kebaikan itu, Allah pasti menolongku.
Namun lagi-lagi harapan itu pupus,
“Ini, ini dia koreknya.” Kata seorang warga.
Aku menangis, meneteskan air mata sambil terus menerus
merasakan kesakitan karena warga terus menerus menendangku. Air mataku
mengalir, aku tak menyangka, kurasa aku belum pernah menangis
sebelumnya. Aku juga mulai merasakan darah segar mengucur di bawah
pelipis dan mengalir sampai bawah mataku, jadilah air mata yang
bercampur dengan darah.
Ketika korek akan segera dinyalakan, aku melihat dalam
cahaya yang remang-remang seorang wanita tua masuk ke tengah kerumunan
warga.
“Jangan! Jangan bakar anakku! Jangan! Tolong jangan!
Ampuni dia! Ampuni!” Wanita itu berkata diikuti dengan tubuhnya yang
bergetar. Sedikit demi sedikit aku yakin bahwa dia adalah... dia adalah
wanita yang paling kucintai, ibu. Aku menyesal mengapa ibu harus ada
disini. Aku lebih menyesal lagi saat orang-orang mendorong ibu hingga
terjatuh dan salah seorang dari mereka mengatakan,
“Anakmu ini yang telah membuat resah warga. Selalu ada
pencurian sepedha motor disini. Anakmu ini harus dihabisi!” katanya
kemudian diiringi teriakan warga.
“Kalau begitu izinkan aku mengatakan sesuatu terlebih
dahulu pada anakku.” Ibuku berkata dengan sangat tegar. Meskipun dengan
air mata terus mengalir di wajahnya yang telah penuh dengan
guratan-guratan.
Warga tidak setuju, namun ada seorang yang mengatakan,
“Biarkan saja! Toh sebentar lagi juga mati!”
Ibuku kemudian mendekat dan membisikkan sesuatu.
“Nak, masih ada waktu untuk bertaubat.” Kata-kata ibu begitu menyejukkanku.
“Ucapkan istighfar nak, ucapkan nak! Allah pasti mengampunimu.” Lanjut ibu.
“As... astagh.. firulloh..haladzim...” Dengan
terbata-bata aku mengucapkannya, bukan hanya karena darah yang masuk ke
mulutku, namun juga karena sedikit syak dalam hati, apakah Allah akan
menerimaku, meski hanya ucapan istighfarku.
Aku mengulanginya tiga kali kemudian ibu kembali
meyakinkan bahwa Allah akan menerima taubatku. Kemudian kupandangi wajah
ibu, dan kusampaikan pesan lewat pandangan itu,
“Maafkanku Bu.”
Beberapa warga mulai merasakan kesedihan melihat adegan
bak sinetron di depannya. Sejurus kemudian orang-orang dengan kasar
mengusir ibu dan mulai menyalakan korek. Sementara bibirku terus
komat-kamit mengucap istighfar. Korek dilempar, bebarangan dengan suara
ibu yang menjerit-jerit, membuat pilu hati orang yang mendengar, namun
tidak bagi orang-orang yang sedang menghajarku ini, rasanya mereka telah
kesurupan.
Kurasakan kakiku telah terasa panas. Saat-saat mencekam
yang membuat bumi berhenti bernapas. Bulan dan bintang tak mampu
menampakkan dirinya. Gunung yang sedari tadi terasa menghimpit tubuh dan
jiwaku, semakin bertambah kuat menghimpitku. Hingga aku kesulitan
bernapas.
“Jika memang ibu benar bahwa Engkau berkenan mengampuni
dosa-dosaku. Sungguh hari ini aku bersama segala penyesalan atas
dosa-dosaku, aku mohon ampun. Aku pasrah dan ikhlas jika engkau mencabut
nyawaku. Tapi tolong Ya Allah, jagalah ibuku.” Doaku dalam hati.
Kemudian hal yang sama sekali tak terduga terjadi...
Sirine polisi meraung-raung. Dengan cekatan seorang
polisi turun dari mobil dan dengan sesuatu yang dibawanya melenyapkan
api yang telah mengunyah setengah dari tubuhku. Warga mulai mundur
sebelum akhirnya aku tak ingat apa-apa.
Teringat kembali sosok ustadz ngajiku di langgar yang mengatakan,
“Meskipun dosa-dosa kita segunung, jika kita benar-benar
bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, maka dosa-dosa kita akan
diampuni. Allah itu Maha Luaaaas ampunannya, karena dia juga Maha
Penyayang terhadap hamba-hambaNya. Sekarang siapa yang mau disayang sama
Allah?” Kata Ustadz yang langsung dijawab koor para santrinya termasuk
aku waktu itu, “Sayaaaa”.
Waktu berjalan cepat, dan kini aku sadar telah berada di
penjara. Usai sholat tahajjud disepertiga malam. Luka bakar yang
menghias di kakiku ini menjadi saksi bahwa Allah sangat menyayangiku.
Saat aku benar-benar akan putus asa saat itu. Saat hatiku menangis
melihat ibu menanggung beban karena kenakalan anaknya. Saat-saat aku
hampir saja tak mampu lagi melihat dunia. Akupun kini merasakan bahagia
karena secercah cahaya yang telah dihadirkan Allah untukku.
***
cerpen oleh : Nabila Cahya Haqi (islamibela.blogspot.com)
SECERCAH CAHAYA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment